A.
PENDAHULUAN
Sejak
hadirnya manusia di dunia sebagai mahluk Bumi, sebenarnya mereka telah memiliki
ilmu pengetahuan sebagai penolong hidupnya untuk bertahan dan melangsungkan
keberlanjutan generasinya hingga hari ini. Pemahaman tentang keilmuan memang
sangat terbatas hanya sebatas berfikir manusia. Dalam perspektif agama ilmu
bersumber dari Sang Khalik. Ketika Tuhan hendak menciptakan manusia tentu saja
telah dibekali dengan seperangkat alat deteksi dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Dengan seperangkat alat deteksi yang telah dikonstruksi Tuhan
itulah manusia dapat memberdayakan dunia untuk kemaslahatan makhluk.
Sejarah
ilmu pengetahuan mulai dari klasik hingga kontemporer tercatat, banyak temuan
ilmuan yang tidak dapat terjawab secara tuntas karena keterbatasan ilmu
pengetahuan, metodologi dan tentunya keterbatasan manusia itu sendiri. Banyak
permasalahan yang dipertanyakan oleh manusia, tetapi tidak semua masalah yang
dipertanyakan dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan. Karenanya
Ilmu itu terbatas pada subjek, objek dan metodologinya sendiri.
Tidak
semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan
sendirinya dapat dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya spekulatif
dan alternatif tentang suatu jawaban dari masalah asasi yang sama boleh jadi
akan lahir berbagai jawaban, hal ini dimungkinkan terjadi karena manusia
bertolak pada latar berfikir masing-masing. Disinilah agama hadir sebagai
sintesis atas problema asasi ilmu dan filsafat yang tidak tejawab tuntas bagi
manusia.[1]
Pada
akhirnya jawaban yang ingin didapatkan manusia adalah hakikat dari kebenaran
yang hakiki. Filsafat sebagai Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kapastian
dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.
Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui
apa yang telah kita ketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini.
Akal adalah potensi rohaniah yang
memiliki berbagai kesanggupan seperti kemampuan berfikir, menyadari,
menghayati, mengerti dan memahami. Jadi pemikiran kesadaran, penghayatan,
pengertian dan pemahaman semuanya merupakan istilah yang berarti bahwa kegiatan
akal itu berpusat atau bersumber dari kesanggupan jiwa yang disebut dengan intelegensi
(sifat kecerdasan jiwa).
Berpikir di maksudkan untuk
mengetahui sesuatu yang belum diketahui dengan kata lain bahwa kebenaranlah
yang menjadi tujuan utamanya, dari proses berpikirnya yang mengatakan
pengorganisasian dan pembudian pengalaman-pengalamannya secara empiris dan
eksperimen di maksudkan dapat mencapai pengetahuan, tetapi apakah pengetahuan
yang diperoleh adalah benar dan apa yang dimaksud kebenaran dalam ilmu
pengetahuan?
Kebenaran adalah adanya
korespondensi, koherensi dan konsistensi antara subjek dan objek secara
pragmatis, jadi ada dua kebenaran yang ingin dicapai yaitu mutlak dan relatif.
Dikatakan relatif karena kebenaran ini merupakan hasil pemikiran manusia dalam
teori pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri bukanlah sesuatu yang sudah
selesai terpikirkan, tetapi sesuatu hal yang tidak pernah mutlak sebab ia masih
selalu membuka diri untuk pemikiran kembali atau peninjauan ulang.[2]
B.
SEJARAH
FILSAFAT ILMU
1.
Pengertian
Filsafat Ilmu
Ada
berbagai definisi filsafat ilmu yang dihimpun oleh The Liang Gie, disini hanya
akan dikemukan empat pendapat yang dianggap paling refresentatif.[3]
a.
Robert
Ackermann: Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang
pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dibandingkan dengan pendapat-pendapat
terdahulu yang telah dibuktikan.
b.
Lewi White
Beck: Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah,
serta mencoba meletakkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu
keseluruhan.
c.
Cornelis
Benjamin: Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah
sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan
praanggapan-pranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang
pengetahuan intelektual.
d.
My Brodbeck:
Filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
Keempat definisi tersebut
memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas di dalam filsafat ilmu,
meliputi antara lain:
a.
Komparasi
kritis sejarah perkembangan ilmu.
b.
Sifat dasar
ilmu pengetahuan
c.
Metode ilmiah
d.
Peranggapan-peranggapan
ilmiah
e.
Sikap etis
dalam pengembangan ilmu pengetahuan
Selain keempat definisi di atas,
filsafat ilmu merupakan kata lain dari epistemologi, berasal dari bahasa Latin,
episteme yang berarti Knowledge, yaitu pengetahuan; logos
berarti theory. Jadi epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori
tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang
hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia. Dalam filsafat
epistemologi adalah cabang filsafat yang meneliti asal, struktur,
metode-metode, dan kesahahihan pengetahuan.[4]
Filsafat ilmu atau epistimologi
adalah analisis filosofis terhadap sumber-sumber pengetahuan. Dari mana dan
bagaimana pengetahuan diperoleh, menjadi kajian epistemologis, sebagai contoh
bahwa semua pengetahuan bersumber dari Tuhan, artinya Tuhan sebagai sumber
pengetahuan. Adapun landasan ontologis suatu ilmu menjelaskan objek yang
ditelaah ilmu tersebut, wujud hakikinya serta bagaimana hubungan objek tersebut
dengan daya tangkap manusia, seperti berfikir, merasa, dan mengindra yang
membuahkan pengetahuan.
Dalam wikipedia bahasa Indonesia
disebutkan bahwa filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi
dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di
sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah
seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah,
bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan,
memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan
penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan
kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.[5]
2.
Sejarah
Filsafat
Filsafat,
terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM.
Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan
alam, dunia dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri
kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan. Filsafat adalah studi
tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan
dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen dan percobaan, tetapi dengan mngutarakan masalah secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu.[6]
Filsafat
juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang
biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang
mempertanyakan segala hal. Banyak yang bertanya mengapa filsafat muncul di
Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu, seperti Babilonia, Yudea
(Israel), atau Mesir. Jawabannya sederhana, di Yunani tidak seperti di daerah
lainnya, tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosuf ialah Thales dari Mileta,
sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi para filosuf Yunani yang terbesar tentu
saja antara lain: Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates ialah guru Plato,
sedangkan Aristoteles ialah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan
pengaruh Plato yang sangat besar dalam sejarah filsafat. Buku karangan Plato
yang paling terkenal yaitu berjudul Etika, Republik, Apologi, Phaedo dan
Krito.
Filsafat
biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya.
Dewasa ini filsafat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar menurut
wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah dibagi menjadi
filsafat Barat, filsafat Timur, dan filsafat Timur Tengah. Adapun filsafat
dilihat dari latar belakang agama dibagi menjadi filsafat Islam, filsafat
Budha, filsafat Hindu, dan filsafat Kristen.
3.
Perkembangan
Historis Filsafat Ilmu
a.
Periode Klasik
dan Abad Tengah: Permulaan Filsafat Alam.
Pada mulanya persoalan-persoalan ilmu adalah di seputar metode dan
substansi yang tidak terpisahkan dari apa yang telah lama disebut sebagai
filsafat alam. Usaha pertama melampaui mitologi-mitologi tradisional menuju
penjelasan rasional atas alam, dimulai oleh para filosuf Ionia dan Italia
Selatan 600 tahun sebelum masehi.[7]
Mereka mencari unsur-unsur atau entitas-entitas yang dikandung oleh
semua benda. Pertimbangan-pertimbangan empiris atau hasil pengamatan yang
mendalam, yang mendukung penjelasan yang satu atau penjelasan saingannya, masih
prematur. Sebagai contoh, apakah manifestasi-manifestasi fenomena alam yang
berbeda-beda berasal dari suatu bentuk materi tunggal yang kekal atau berasal
dari beberapa substansi elementer yang bergabung bersama-sama, dan apakah
berupa substansi fundamental, berlangsung terus dan berubah-ubah, ataukan
berupa substansi tersendiri dan bersifat atomik? Yang lainnya bertanya, apakah
bentuk-bentuk fenomena yang diamati merupakan bukti dari sesuatu yang bersifat
universal, pikiran yang mendasari atau suatu rumpun jenis-jenis roh yang hidup
bersama-sama yang bertanggung jawab atas fenomena yang mempunyai tatanan
kompleksitas yang berbeda.
Pada filosuf Pra-Sokratik mendasarkan jawaban mereka sedapat mungkin
pada dasar-dasar epistemik, dengan mempertimbangkan jenis-jenis penjelasan apa
yang sungguh-sungguh dapat dimengerti. Seperti halnya yang berdasarkan hal yang
ontal atau empiris dengan mempertimbangkan jenis-jenis entitas abadi apa yang
mungkin terlihat atau didapat dalam pengalaman, jenis eksistensi yang
dibutuhkan.
Meskipun Plato dan Aristoteles memperlihatkan perhatian cermat
terhadap kasus-kasus aktual, namun filsafat ilmu mereka masih berhenti pada
percampuran pertimbangan-pertimbangan ontologis, epistemologis dan empiris yang
sama. Pertanyaan-pertanyaan tentang alam didiskusikan dalam Timaeus karya
Plato dan Physics karya Aristoteles, misalnya berciri tidak murni
metafisik ataupun murni empiris walaupun keduanya mempunya aspek metodologis
yang mirip dengan filsafat ilmu modern. Juga konstruksi Plato mengenai
teori-teori fundamental ilmu di seputar konsep-konsep dan pola-pola yang
dipinjam dari geometri mempunyai pengaruh mendalam pada periode moderen, pada
René Descartes misalnya, dalam abad ke-17 dan pada logika modern,
matematisi Jerman Gottlob Frege, dalam tahun 1810-an dan sesudahnya.[8]
Perkembangan filsafat ilmu berikutnya, tema-tema yang dinyatakan
Plato dan Aristoteles terjadi lagi berulang-ulang dan ditampilkan kembali
sekarang ini melalui pendekatan yang bersaing terhadap topik tersebut, satunya
(Platonis) berdasarkan pada logika. Lainnya (Aristotelian) berdasarkan pada
sejarah ilmu. Keduanya mendominasi topik tersebut selama periode Yunani kuno
belakangan. Perdebatan berlanjut antara penerus Atomis Demokritus dan Epikurus
dengan para filosuf Stoa, yang dipimpin oleh Zeno dari Citium.
Kedua perdebatan ini menampilkan dengan jelas dan untuk pertama
kalinya, alternatif utama cara-cara penjelasan yang berlaku pada ilmu dan
menganalisis kemungkinan-kemungkinan dan kekurangan-kekurangannya dalam
istilah-istilah umum. Lebih dari 2000 tahun sebelum munculnya termodinamika
modern dan teori medan misalnya, Aristoteles sudah mengenali berbagai kesulitan
menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan fisik seperti
pencairan dan penguapan. Sementara itu, bahkan lebih awal lagi, Plato telah
memperlihatkan kemungkinan penjelasan matematis terpadu mengenai
perbedaan-perbedaan di antara substansi-substansi materi yang berbeda-beda
jenisnya.
Berbeda dengan periode sebelum Euklides sang ahli geometri (hingga
300 S.M.), periode Hellenistik, Islamik dan Abad Tengah hanya menambahkan
sedikit saja bagi pemahaman metodologi dan penjelasan ilmiah. Mulai dari
astronom Alexandria, Ptolomeus, yang memperdalam teori geosentris, kebanyakan
para filosuf alam dengan sengaja membatasi klaim-klaim intelektualnya dalam
suatu gaya instrumentalis, yakni dengan merancang secara sistematis prosedur-prosedur
matematis untuk meprediksi, misalnya, gerhana bulan dan gerakan planet. Dalam
hal ini mereka mengabaikan mekanisme-mekanisme penting bagi fenomena itu,
dengan demikian melindungi teknik-teknik perhitungan ilmu-ilmu tersebut dari
resiko berkonflik dengan teologi selama 1.250 tahun, hingga zaman Kopernikus.
Oleh sebab itu, pada puncak Abad Pertengahan, kemungkinan bagi
manusia untuk membuat dirinya menjadi tuan intelektual alam, sebagian besar
sudah ditinggalkan. Pengertian manusia kini tergantung kepada penerangan Allah.
Jaminan pengetahuan ilmiah tidak terletak pada mutu metodologinya melainkan
terletak pada berkat Allah, itulah yang memastikan kepercayaanya (reliability).
Dalam penafsiran ini, manusia tidak memiliki jalur langsung untuk memasuki
alam, satu-satunya jalan menuju pengetahuan adalah melalui pikiran ilahi. Sehingga
semua persoalan utama dalam filsafat ilmu dinyatakan kembali sebagai persoalan
teologis, sebagai persoalan di seputar hubungan kemaha-tahuan (omnipotence) Allah dengan pengetahuan manusia yang lebih
terbatas.[9]
b.
Abad ke-17 dan
ke-18: Dari Manifesto Hingga Kritik.
Walaupun Renesans intelektual pada abad ke-16 dan 17 disertai
dengan sekulerisasi pembelajaran, yang memindahkan pusat perdebatan filosofis
dan ilmiah dari biara-biara ke dalam di universitas-universitas bahkan di salon-salon
pertemuan-pertemuan secara teratur di kalangan penulis, artis dan lain-lain,
dimana hubungan antara filsafat dan teologis tidak terputus secara mendadak.
Descartes, Newton dan Leibniz, sarjana terkemuka zaman itu, mereka semua
berusaha memperlihatkan bahwa posisi-posisinya cocok dengan teologi, dan
kontroversi-kontroversi di seputar
pengetahuan manusia dan rahmat ilahi dijumpai lagi dalam gema argumen-argumen,
seperti peryataan Descartes, bahwa metode rasional penelitian dapat dipercayai
dengan meyakini bahwa Allah tidak akan
menipu kita dengan sengaja.
Antara tahun 1600 sampai 1800 perdebatan dalam filsafat ilmu hampir
tak dapat dipisahkan dari perdebatan dalam ilmu itu sendiri. Sejak Bacon dan
Galileo melalui Descartes dan Leibniz
hingga Laplace dan Kant, semua peserta utama perdebatan memainkan peranan
penting di pentas ilmiah. Demikianlah Francis Bacon dan René Descartes keduanya memikirkan tujuan intelektual yang sama, yakni
merumuskan secara eksplisit suatu metode baru bagi kemajuan intelek, yakni
dengan cara menyusun prosedur-prosedur rasional ilmu dalam cara yang
membebaskannya dari asumsi-asumsi yang sewenang-wenang, tak beralasan atau
takhayul dan mendasarkan pada cara yang tak tergoyahkan dalam konsep-konsep
yang bersifat jelas dan terpilah-pilah.
Argumen-argumen Bacon dan Descartes benar-benar merupakan
manifesto, keduanya menawarkan program-program intelektual bagi sebuah ilmu
alam yang hendak dibangun. 150 tahun kemudian Galileo dan Newton dan banyak
ilmuan lain menyusun ilmu fisika baru yang dianjurkan oleh para filosuf.
Mulai dari tahun 1700 wilayah perdebatan filsafat ilmu berpindah.
Serangan-serangan pada metode dan asumsi-asumsi Newton yang dilancarkan oleh
Leibniz, Berkeley dan sisa-sisa Cartesian terus berlanjut dari sudut pandang
yang berbeda. Namun pada tahun 1740 berakhirlah masa bagi manifesto dan
keberatan-keberatan tersebut. Ketepatan basis ilmiah konsep-konsep Newton tak
lagi dipertanyakan dan diragukan.
c.
Sampai Perang
Dunia I: Filsafat Fisika Klasik
Daya upaya filosofis Kant yang ambisius butuh waktu lama untuk
dipahami. Dalam tahun 1880-an para filosuf ilmu dengan cara yang berbeda-beda,
seperti Ernst Mach, fenomenalis Austria dan Heinrich Hertz perintis gelombang
elektromagnetik, keduanya melanjutkan persoalan-persoalan yang dibukakan oleh
Kant.
Bila kita kembali ke masa lampau dalam satu hal tampaknya Kant
telah berusaha terlalu banyak. Mencakup seluruh struktur inderawi manusia dan
pengaturan intelektual seluruh geometri Euklidean, fisika fundamental Newton
dan pemikiran-pemikiran prailmiah mengenai substansi dan sebab, Kant
memperlihatkan bahwa struktur manusia adalah satu-satunya struktur yang dapat
diterima dan paling efektif.
Perdebatan dalam filsafat ilmu abad ke-19
berpusat pada topik-topik pinggiran dan menghidnari isu-isu yang dapat
mempertanyakan kemapanan fisika klasik Newton. Validitas sistem klasik tidak
dipersoalkan. Persoalan-persoalan yangdianggaprelevan hanya menyangkut
penafsiran implikasi-implikasinya, dan posisi-posisi yang dimunculkannya dapat
diklasifikasikan dengan penyederhanaan yang agak berlebihan, di bawah kubu
doktrin mekanistik atau materialistis dan doktrin idealis.[10]
d.
Perdebatan Abad
ke-20
Di pertengahan abad ke-20 M. perdebatan dalam filsafat ilmu menjadi semakin mendalam, rumit dan kritis.
Tema-tema utama perdebatan sebagian besar diperkenalkan dalam diskusi periode
sekitar tahun 1900. Di Inggris dikembangkan teori-teori : possitivisme,
empirisme, dan teori-teori epistemologis tentang data-data indrawi. Di
sisi lain, aliran yang lebih berorientasi aspek kesejarahan, terutama Marxis
Kritis menekankan pengembangan dinamis karakter struktur-struktur
dan hubungan-hubungan sosial.
Dalam kenyataannya filsafat ilmu, selama 50 tahun kita melihat
bahwa topik itu akhirnya mendapat status sebagai suatu disiplin profesional
yang mantap. Penyebab perkembangan ini adalah perubahan-perubahan mendalam yang
terjadi sejak tahun 1900 di dalam fisika teoritis dan cabang-cabang fundamental
ilmu alam.
Selama periode yang sama perubahan-perubahan yang luar biasa
terjadi di dalam ilmu-ilmu sperti fisika teoritis, biokimia, dan psikologi
telah merangsang diskusi-diskusi filosofis di kalangan para ilmuan itu sendiri.
C.
MAKNA FILSAFAT
ILMU BAGI KEHIDUPAN
1.
Hajat Manusia
Terhadap Ilmu Pengetahuan
Menurut
Imam Al-Ghazali, ilmu itu terdiri dari tiga jenis, yaitu ilmu sebagai proses,
yakni ilmu yang ditangkap oleh pancaindra, ilmu akal dan ilmu laduni.
Yang dimaksud ilmu sebagai proses adalah bahwa ilmu senantiasa dicapai melalui
pengalaman pancaindra, tetapi hasilnya sangat subjektif.[11]
Pandangan
Imam Al-Ghazali tentang kedudkan ilmu bagi manusia, berbeda dengan pandangan
Barat dengan paradigma humanistiknya. Imam Al-Ghazali berpandangan bahwa ilmu
pada esensinya adalah alat untuk mengetahui kebesaran Tuhan (ma’rifatullah),
sehingga keyakinan yang tunjukkan kepada Tuhan menjadi keyakinan yang rasional
dan serasi dengan ilmu-ilmu ilahiah. Adapun ilmu dalam paradigma Barat
ditemukan dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk mempermudah manusia melakukan
kepentingan dan memenuhi kebutuhannya.
Ilmu
pengetahuan terbukti telah membedakan martabat manusia dan derajatnya di mata
Tuhan. Bagi orang-orang Islam, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu dengan beberapa derajat. Itu artinya, ilmu
pengetahuanbenar-benar akan membedakan antara yang bodoh dengan yang pintar.
Hajat manusia akan ilmu pengetahuan disebabkan dua hal mendasar yaitu:
a.
Ilmu sebagai
petunjuk ke jalan yang lebih baik dalam kehidupan manusia di segala sektor dan aspek.
b.
Ilmu sebagai
alat untukmempermudah jalan hidup manusia dalam menghadapi masalah.
2.
Implikasi
Mempelajari Filsafat Ilmu
a.
Bagi seseorang
yang memepelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai
tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya para ilmuan memiliki
landasan berpijak yang kuat. Ini berarti seorang ilmuan sosial perlu
mempelajari ilmu-ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula seorang ilmuan
alam perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang ilmu-ilmu
sosial. Sehingga antara ilmu yang satu
dengan yang lainnya salaing berhubungan secara harmonis untuk memecahkan
persoalan-persoalan kemanusiaan.
b.
Menyadarkan
seoarang ilmuwan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”. Yakni
hanya berfikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang
ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat
dilepaskan dari konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.[12]
3.
Manfaat dan
Makna Filsafat Ilmu
Bervariasinya
objek materinya, jika dicermati mengandungidentitas yang saling berdekatan atau
identik antara yang satu dengan yang lainnya. Sedemikian rupa sehingga semua
objek itu berada dalam suatu hubungan yang sistematik dan tak terpisahkan.
Akibatnya, pemahaman mengenai suatu hal mengharuskan pertimbangan-pertimbangan
terhadap yang lain. Di antara objek tersebut, memberi arti, kedudukan dan
fungsi. Dengan demikian dapat dilihat, misalnya benda-benda alam memberi arti,
kedudukan dan fungsi terhadap manusia dan masyarakatnya serta terhadap Tuhan
Sang Pencipta, demikian sebaliknya.
Persoalan
kemudian adalah mengapa Filsafat Ilmu itu ada? dalam hal ini ada dua hal, yaitu
faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internal dan ilmu
pengetahuan itu sendiri, maksudnya historisitas ilmu pengetahuan, sampai dewasa
ini berkembang menjadi banyak jenis dan semakin pragmatis. Terdorong oleh
penemuan pengetahuan yang pasti kebenarannya, maka dilakukan pembatasan
lingkaran objek (objek formal), dan penggunaan metode dan sistem yang tepat. Kedua, faktor
eksternal yang juga terkait dengan faktor internal, diduga keras penyebabnya
adalah faktor eksternal. Kenyataannya, laju perkembangan manusia sudah tidak
imbang lagi dengan jumlah persediaan sumber daya alam. Maka berkaitan dengan
hal itu, diperlukan pengetahuan yang benar dan pasti, yang bersifat praktis
teknis pengetahuan seperti ini dapat berdaya guna dalam kehidupan manusia.[13]
Filsafat
Ilmu adalah suatu bidang studi filsafat yang obyek materinya berupa
ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis dan perwujudannya. Jadi meliputi pluralitas
ilmu pengetahuan. Sementara objek formalnya yaitu berupa hakekat ilmu
pengetahuan. Jadi Filsafat Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang benar secara
hakiki mengenai objek pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan atau sudut
pandang metode atau sistem yang filosofis.
Kedua
faktor tersebut dalam perkembangannya menghasilkan teknologi yang berkemampuan
luar biasa. Agaknya manusia sebagai penghasil teknologi diarahkan menuju
kemudahan. Akan tetapi dibalik semua itu manusia menjadi tamak, serakah dan
manusia alpa terhadap tugasnya. Sebagai khalifah. Bahkan manusia kehilangan
moral dan imannya, bersifat individual, egoistik dan eksploitatif, dalam
lingkungan, bahkan terhadap Tuhan. Dengan kenyataan seperti itu filsafat hadir
di tengah keragaman ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meluruskan
sehingga terarah pada pencapaian tujuannya. Karena ilmu pengetahuan dan
teknologi bukan hanya bernilai ilmiah saja melainkan bernilai ilmiah keilahian.
Dengan
demikian, ilmu pengetahuan harus berdasarkan diri pada aspek ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Dengan demikian filsafat dapat menetralisir
kemungkinan-kemungkinan yang dimunculkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasar
pada uraian-uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa Filsafat Ilmu hadir
dengan memikul tanggung jawab yang berat, karena di samping menetralisir
temuan-temuan ilmu pengetahuan, juga memikirkan bagaimana ilmu pengetahuan
berdaya guna dalam kehidupan manusia. Sehingga dapat ditarik garis besar
manfaat filsafat ilmu bagi manusia ada sebagai berikut:
a.
Menumbuhkembangkan
ilmu pengetahuan untuk menuju kemuliaan sehingga mampu menembus dimensi sekularisme
ilmu pengetahuan.
b.
Membentuk dan
mengembangkan wawasan epistemologi ilmu pengetahuan sehingga moralitas
kesarjanaan, yaitu sifat ilmiah menjadi popular. Dengan demikian iptek dapat
dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepentingan subjek manusia melainkan juga
kepentingan alam sebagai kebutuhan yang menyeluruh.
c.
Tuntutan etis,
ilmu pengetahuan dapat dipertangungjawabkan sehingga kehidupan masyarakat yang
adil dan sejahtera dan bahagia dalam kelestarian alam lingkungan semakin nyata[14]
D.
METODE FILSAFAT
ILMU DAN DASAR-DASAR PENGETAHUAN
1.
Metode Filsafat
Ilmu
Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan
defenisi dari para ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat
pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filosuf itu
sendiri. Penjelasan secara singkat metode-metode filsafat yang khas adalah
sebagai berikut:
a.
Metode Kritis: Socrates dan Plato
Metode ini
bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan
orang. Merupakan hermeneutika, yangmenjelaskan keyakinan dan memperlihatkan
pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan,
menyisihkan dan menolak yang akhirnya ditemukan hakikat.
b.
Metode Intuitif: Plotinus dan Bergson
Dengan jalan
metode intropeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan
membersihkan intelektual (bersama dengan pencucian moral), sehingga tercapai
suatu penerangan pemikiran. Sedangkan Bergson dengan jalan pembauran antara
kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
c.
Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Squinas,
Filsafat Abad Pertengahan.
Metode ini
bersifat sintetis-deduktif dengan bertitik tolak dari defenisi-defenisi atau
prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan-kesimpulan.
d.
Metode Geometris: René Descartes dan pengikutnya
Melalui
analisis mengenai hal-hal kompleks dicapai intiuisi akan hakikat-hakikat
sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu didedukasikan
secara matematis segala pengertian lainnya.
e.
Metode Empiris:Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume
Hanya
pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide )
dalam intropeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian di
susun bersama secara geometris.
f.
Metode Transendental: Immanuel Kant dan Neo Skolastik
Metode ini
bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis diselidiki
syarat-syarat apriori bagi pengertian yang sedemikan rumit dan kompleks.
g.
Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme
Yakni dengan
jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam
kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. Fenomelogi adalah suatu
aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau
yang membicarakan gejala. Hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau
penyaringan dan menurut Husserl ada tiga macam reduksi yaitu:
1)
Reduksi fenomologis, kita harus menyaring
pengalaman-pengalaman kita agar mendapat fenomena semurni-murninya.
2)
Reduksi eidetis
3)
Reduksi transendental
h.
Metode Dialektis: Hegel dan Mark
Dengan jalan
mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis, antitetis,
sistesis dicapai hakikat kenyataan. Dialektis itu di ungkapkan sebagai tiga
langkah, yaitu dua pengertian yang bertentangan kemudian didamaikan
(tesis-antitesis-sintesis).
i.
Metode Non-Positivistis
Kenyataan
yang dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan
seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).
j.
Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein
Dengan jalan
analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan
filosofis. Metode ini dinilai cukup netral sebab tidak sama sekali
mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaannya adalah semua kesimpulan dan
hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis.[15]
2.
Dasar- Dasar
Pengetahuan.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk
yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang
bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan
bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses
berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir
menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik
dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka
berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang
bersangkutan, artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan
langkah-langka tertentu. Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada
penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan
kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang
didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik
secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua,
pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan
atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka
kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal
dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham
empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran
deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme)
Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran
maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan
kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara
tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.[16]
Menurut
Bahm ada delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia
sehingga menghasilkan suatu pengetahuan manusia yaitu[17]:
a.
Mengamati (Observes)
Pikiran
memiliki peran mengamati obyek-obyek dalam melaksanakan pengamatan terhadap
obyek, pikiran haruslah mengandung kesadaran, pengamatan sering kali muncul
dari rasa ketertarikan dalam obyek.
b. Kegiatan
Menyelidiki (Inqures)
Ketertarikan
pada obyek membuat seseorang mau untuk mempelajari dan menyelidiki obyek
tersebut. Bagaimana obyek tersebut ada dan berkembang, manfaat dan obyek
tersebut minat seseorang terhadap obyek mendorong mereka mau terlibat untuk
memahami dan menyelidiki obyek-obyek tersebut.
c.
Tahapan mempercayai obyek tersebut
(Believes)
Setelah
mereka mempelajari dan menyelidiki obyek yang muncul dalam kesadaran mereka,
biasanya obyek tersebut diterima sebagai obyek yang tampak sikap percaya
biasanya dilawankan dengan keraguan.
d. Hasrat
(Keinginan) dan Desires
Hasrat
atau keinginan timbul dari adanya ketertarikan pada kesenangan, kehormatan,
penghormatan, rasa aman dan lain-lain. Hasrat biasanya melibatkan beberapa
perasaan puas dan frustasi dan berbagai respon terhadap perasaan tertentu.
e.
Maksud dan Tujuan (Intends)
Walaupun
seseorang memiliki maksud ketika akan mengobservasi, menyelidiki, mempercayai
dan berhasrat, namun perasaanya belum tentu mau menerima dengan segera,
terkadang mereka enggan atau malas untuk melaksanakanya.
f.
Mengatur (Organizes)
Setiap
pikiran adalah suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang, pikiran
mengatur melalui keadaran yang sudah jadi, disamping itu pikiran mengatur
melalui panggilan untuk memunculkan obyek serta melalui pengingatan dan
mendukung penampilan obyek-obyek.
g. Proses
Penyesuaian (Adaptasi)
Menyesuaikan
pikiran-pikiran yang ada sekaligus melakukan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan
yang tercakup dalam otak dan tubuh. Pikiran itu berasal dari fisik, biologis,
lingkungan dan kultural.
h. Proses Menikmati (Enjoys)
Pikiran-pikiran dapat mendatangkan keasyikan, seseorang yang asyik
dalam menekuni suatu persoalan, maka ia akan menikmati itu dalam pikirannya
E.
SUMBER-SUMBER
PENGETAHUAN
1.
Menurut
paradigma filsafat Barat
Semua
orang mengakui memiliki pengetauan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu
diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat? Dari situ timbul pertanyan
bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau darimana sumber pengetahuan
kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat
yang menggunakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa
pendapat tentang sumber pengetahuan antaralain:
a.
Idealisme
Pertama, idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
hakikat fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah
idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme
atau nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau
bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato (
427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa
hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena
sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang
berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu
pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber
dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang
seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah
yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam
dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E
Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala
sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali
saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi
Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang tampak dalam wujud nyata
alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b.
Empirisme
Paham selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih
memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat
pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM)
yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui
ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles,
hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik
manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan
satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan
dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja,
nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun
Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti
eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran
kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul
Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada
saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Maksudnya ialah
bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya
mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan. Di dalam kertas
putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O.
Katsof;1995). Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa pengetahuan
manusia hanya didapatkan melalui pengamatan konkret, bukan penalaran rasional
yang abstrak, apalagi pengalaman kewahyuan dan institusi yang sulit memperoleh
pembenaran factual.
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakanbahwa manusia
tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (empressions) dan
pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kean-kesan adalah
pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan
terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang
samara-samar yang dihasilka dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam
kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.(Amsal Baktiar; 2002)
Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep indrawi, hal itu
dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya.(Muhammad
baqir as-Shadar;1995). Jadi dalam empirisme, sumber utamauntuk memperoleh
pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra. Akal tidak
berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1)
Indra terbatas,
benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak.
Keterbatasan indralah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk
pengetahuan yang salah.
2)
Indra menipu,
pada yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan tersa dingin. Ini akan
menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3)
Objek yang
menipu, contohnya fammorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia ditangkap oleh indra, ia membohongi indra.
4)
Berasal dari
indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini indra mata tidak mampu melihat seekor
kerbau secara keseluruhan, dan kernau itu juga tidak dapt memperlihatkan
badanya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena
keterbatasan indra manusia.
c.
Rasionalisme
Paradigma selanjutnya adalah Rasionalisme, sebuah aliran yang
menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui pertimbangan akal. Dalam
beberapa hal, akal bahkan dianggap dapat menemukan dan memaklumkan kebenaran
sekalipun belum didukung oleh fakta empiris. Faham rasionalisme dipandu oleh
tokoh seperti Rene Deskrates (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan
Gottfried Leibniz (1646-1716). Menurut kelompok ini, dalam setiap benda
sebenarnya terdapat ide – ide terpendam dan proposisi - proposisi umum yang
disebut proposi keniscayaan yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran yang dapat
dibuktikan sebagai kebenaran dalam kesempurnaan atau keberadaan verifikasi
empiris.
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Menurut aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalammemperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, etapi sampainya mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Menurut aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalammemperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, etapi sampainya mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau
ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan
bersifat universal. Yang dimaksud prinsip-prinsip universal adalah abstraksi
dari benda-benda konkret, seperti hukum kuasalitas atau gambaran umum tentang
kursi. Sebaliknya bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.(Harun
nasution;1995)
Akal, selain bekerja karena ada bahan indra, juga akal dapat
menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi
akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai
criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorag dalah
jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah yang
utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran
premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif, karena
premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat
abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat
dilakukan.(Jujun S. Suriasumantri;1998).
d.
Positivisme
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan
metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel
Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh
ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat
dengan eksperimen.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang
positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.(Drs. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A;
2004 :133).
Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen
itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan
drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup
mengatakan api panas atau metahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan
panas sekali, panas, dan tidak panas. kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari
sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal
dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh August Comte dan
Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya
menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang bekerjasama dengan memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
2.
Menurut Saintis
Islam
Alam
ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia. Alam
yang memiliki hukum yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan manusia.
Karena hukum alam itulah manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam dan
mengadakan pengembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai
persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi dan kualitas alam, secara
bertahap dapat dikuasai dan diatasi manusia .
Hukum
alam dan Al-Qur’an bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah SWT. Oleh
karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara kaitan
tersebut, Al-Qur’an memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang
akan datang, yang belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga
memberikan informasi peristiwa masa lampau yang hanya diketahui oleh kalangan
yang sangat terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli dan
terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat, Al-Qur-an
juga memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk melakukan kajian atau
pembahasan suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya (tawakuf) serta
menyerahkan segala urusanya kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh
melalui kajian dan penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan
kebesaran akan menunjukkan kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT,
sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali’Imran ayat 190 dan 191 :
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ,Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Di
kalangan ilmuan muslim, banyak sekali penemuan ilmuan yang orisinal (sebagai
hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan dan
menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern, termasuk yang kemudian
dikembangkan oleh para ilmuan barat. Para ilmuan muslim, terutama yang muncul
pada masa keemasan islam (abad ke 7-13) banyak memberi kontribusi pada
perkembangan sains modern, seperti bidang kimia, optika, matematika,
kedokteran, fisika, astronomi, geografi, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam
Kalau
di Barat ilmu pengetahuan beranjak dari “premis kesangsian”, maka dikalangan
agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari “premis keimanan”,
suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang absolute itu
hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya menafsirkan wahyu
tersebut. Al-qur’an dan As-Sunah yang sahih mempunyai tingkat kebenaran
absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu fiqih dan
lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammada Talhah Hasan, 2006:
39)
Allahlah
sumber segala ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu yang dikuasai manusia selama ini
sangat terbatas dan sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan ilmu Allah.
Tuhan telah memberikan ilmu-Nya kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya
seperti malaikat, dengan beberapa cara seperti dengan ilham, instink, indra,
nalar (reason), pengalaman dan lain sebagainya. Atau dengan istilah lain,
melalui penelitian dan survey, juga melalui penelitian laboratories, dan ada
juga yang melalui kontemplasi/perenungan yang tajam dan melalui informasi wahyu
yang diterima para Rasul Allah. Itu semua merupakan cara-cara yang digunakan
oleh Allah untuk memberi ilmu pengetahuan, informasi, kemampuan nalar dan
kecakapan kepada manusia, tetapi sumbernya tetaplah Allah.
Prof.
DR. Cecep Sumarna mengatakan, bahwa dikalangan filosof dan saintis muslim
berkembang sebuah pemikiran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu. Bagi
umat islam hal itu termanifestasi dalam bentuk Al-Qr’an dan As-Sunah. Sumber
Al-Qur’an ini bukan hanya mendampingi sumber pengetahuan lain, misalnya sumber
empiris yang faktual/induktif dan rasional/deduktif. Al-Qur’an bahkan dapat
dianggap pemegang otoritas lahirnya ilmu. Dalam perspektif islam, alam menjadi
sumber empiris pengaruh modern, adalah wahyu Tuhan juga. Ia adalah symbol
terendah dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan sekaligus Maha Qudus. (Prof. DR. Cecep
Sumarna; 2008:111). Selain empiris dan rasional, sumber ilmu pengetahuan yang
lain adalah intuisi dan wahyu. Melalui intuisi manusia mendapati ilmu
pengetahuan secara langsung tidak melalui proses penalaran tertentu, sedangkan
wahyu adalah pengetahuan yang didapati melalui “pemberian” Tuhan secara
langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang disebut Rasul dan Nabi.
DR.
Ahmad tafsir mengatakan, bahwa menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datang dari
Allah, sebagiandiwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain
diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal, dan hatinya. Pengetahuan yang
diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolute, sedangkan pengetahuan yang
diperoleh dari indra kebenarannya tidak mutlak. (DR. Ahmad tafsir; 2008: 8)
Bagi
orang islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang
datang dari Allah. Sumber pertama itu sekarang ini adalah Al-Qur’an atau hadits
Rasul. Demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan
yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi
(hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini
terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme
dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan tersebut tetap dilakukan secara
hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa baru diantara keduanya itu.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang
hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat
dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti
menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah
lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau
juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur
menunjukkan bahwa bintang lebih besar dari pada bumi. Hal-hal seperti itu
disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa
hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak
dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari
pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang
lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai
bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan
bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Kredibilitas akal, karena itu, juga
tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang
dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan
pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang
bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia
siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi."
(Al-Ghazali,1961).
F.
PENUTUP
Filsafat
ilmu dibutuhkan kehadirannya di tengah perkembangan iptek yang ditandai semakin
menajamnya spesialisasi ilmu pengetahuan. Sebab dengan mempelajari filsafat
ilmu, maka para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap
ke dalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap
keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan
mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat
manusia.
Berdasarkan
paparan singkat perkembangan sejarah filsafat Barat sejak kelahirannya pada
zaman Yunani Kuno sampai dengan Abad ke-20 atau samapai zaman Kontemporer, maka
secara singkat dapat ditegaskan bahwa pemikiran filsafat Barat berkembang
sebagai reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis. Reaksi terhadap mitos dan
sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran yang rasional, artinya suatu pendapat
yang dimitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan, ditentang dan
dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah yang baru. Di sini ciri utama
filsafat yang spekulatif menjadi lebih dominan, artinya ada keberanian untuk
menemukan hal-hal baru, walaupun manusia pada zamannya belum dapat menerima
ide-ide tersebut pada masa itu, sebagaimana halnya Copernicus, Galileo Galilei
yang pandangan Heliosentrisnya belum dapat diterima oleh umat pada zamannya,
namun pandangan mereka tetap diakui kebenarannya pada era-era sesudahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu.
Jakarta: Kencana
Prenadamedia
Group.
Muntasyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu (Kontemplasi Filosofis
tentang Seluk Beluk
Sumber dan
Tujuan Ilmu Pengetahuan). Bandung: Pustaka
Setia
Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu, Diterjemahkan oleh
Saut Pasaribu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sumber Internet:
Dahlia,http://diarydahlia.blogspot.com/2011/09/dasar-dasar-pengetahuan-filsafat-ilmu.html
Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.50 WIB
Devi Kristianti,https://sites.google.com/site/blogilmupengetahuan/artikel-pengetahuan/metodefilsafatilmu
Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.50 WIB.
Hisyam Nur, http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/dasar-dasar-pengetahuan-dalam-filsafat.htmlDiakses
11 Oktober 2014, jam 22.50 WIB
Muhammad Ilham Rauf, younaitspepunm.blogspot.com/2013/02/dasar-dasar-dan-sumber-
pengetahuan.html, Diakses 11
Oktober 2014, jam 21.50 WIB.
Sutejo Ibnu Pakar, http://rajasambel90.wordpress.com/2010/05/18/lintasan-sejarah-filsafat-ilmu/
Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.30 WIB.
Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.30 WIB.
Wikipedia Bahasa Indoensia, Esklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ilmu.
Diakses 11 Oktober 2014, jam 21.50 WIB.
[1] Mukhtar Latif,
Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. (Kencana Prenadamedia.
Jakarta. 2014), Hal. 2
[2] Muhammad Ilham
Rauf, younaitspepunm.blogspot.com/2013/02/dasar-dasar-dan-sumber-pengetahuan.html,
Diakses 11 Oktober 2014, jam 21.50 WIB.
[3] Rizal
Mustansyir dan Wisnu Munir, Filsafat Ilmu. (Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
2001), Hal. 49
[4]Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Ilmu. (Pustaka Setia. Bandung. 2009), Hal. 30
[5]Wikipedia
Bahasa Indoensia, Esklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ilmu. Diakses 11
Oktober 2014, jam 21.50 WIB.
[6]Mukhtar Latif, Orientasi
Ke... Hal. 45
[7]Jerome R.
Ravertz, Filsafat Ilmu, Terjemahan Saut Pasaribu (Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2007) Hal. 92
[8]Jerome R.
Ravertz, Filsafat ..., Hal. 92
[9]Jerome R.
Ravertz, Filsafat ..., Hal. 99
[10]Sutejo Ibnu
Pakar, http://rajasambel90.wordpress.com/2010/05/18/lintasan-sejarah-filsafat-ilmu/
Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.30 WIB.
[11]Beni Ahmad
Saebani, Filsafat ... Hal. 171
[12]Rizal
Mustansyir dan Wisnu Munir, Filsafat ... Hal. 53
[13]http://ff.pancabudi.ac.id/news/manfaat-dan-makna-filsafat-ilmu-.html,/ Diakses 11
Oktober 2014, jam 22.30 WIB.
[14]http://ff.pancabudi.ac.id/news/manfaat-dan-makna-filsafat-ilmu-.html,/ Diakses 11
Oktober 2014, jam 22.30 WIB.
[15]Devi
Kristianti, https://sites.google.com/site/blogilmupengetahuan/artikel-pengetahuan/metodefilsafatilmuDiakses 11
Oktober 2014, jam 22.50 WIB.
[16]Hisyam Nur, http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/dasar-dasar-pengetahuan-dalam-filsafat.html Diakses 11
Oktober 2014, jam 22.50 WIB
[17]Dahlia, http://diarydahlia.blogspot.com/2011/09/dasar-dasar-pengetahuan-filsafat-ilmu.html Diakses 11
Oktober 2014, jam 22.50 WIB
2 komentar:
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Terimakasih.. semoga tulisannya bermanfaat..
My blog
Posting Komentar